NEGERI BUTON -"tercatat dalam
Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu,
negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan
sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran
air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal
Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia
Patamiana. Mereka adalah:
Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati.
Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari
Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana)
tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan
Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah
Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah
Barangkatopa. Gambar Keraton Kesultanan Buton Sipanjongan dan para pengikutnya
meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan
menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634
Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di
pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di
daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang
disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini
dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton. Sementara Simalui dan para
pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah
Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan
kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan.
Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera
yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina,
putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian
lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari
kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah
Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa
yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan
Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut
Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa
(Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan
mengangkat seorang Raja. Selain empat Limbo di atas, di
pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe,
Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah,
kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan
membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu,
kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa
sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M. Berkaitan dengana asal-usul nama
Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin
(barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai
penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Namun dari sebuah kitab sejarah
yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal
kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan
BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan.
Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam
surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya
Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri
ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk b. Kerajaan Buton dan Islam Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai
raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui
Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah
berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi
kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan
Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk
Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad
ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan
unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat
Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini
mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki
relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit. 2. Silsilah Berikut ini daftar raja dan sultan
yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam,
sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja: 1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum Sultan-sultan: 1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M). 3. Periode Pemerintahan Era pra Islam Kerajaan Buton
berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton
diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun
1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja.
Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin.
Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. 4. Wilayah Kekuasaan Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi
seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi. 5. Struktur Pemerintahan Kekuasasan tertinggi di Kerajaan
Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua
golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat
dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus
berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya
pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72
wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur
pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala
Siolimbona dan sekretaris sultan. 6. Kehidupan Sosial Budaya Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh
dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat
dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama
dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah
peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana
Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat
berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan
naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan
baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara
dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf
Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah
yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di
bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah,
dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang
sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena
melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La
Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai
mati). Dalam bidang ekonomi, kehidupan
berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam
negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber
pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil
adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian
tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena.
Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan
perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas
ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua
adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang
kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional. Secara umum, ada empat prinsip
yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu
yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo
Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan
negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan
pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi
keselamatan agama) Buton adalah sebuah negeri yang
berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan
pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang
berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan
terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang
ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman
tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat
Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat
Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara
lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis
tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan
benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok
keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter
persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8
meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada
di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “EPISTEMOLOGI
”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian Epistemologi atau yang lebih
khususnya membahas pengertian Epistemologi, Sumber-sumber pengetahuan,
Cara-cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Epistemologi. Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Baubau
10 April, 2013
Penyusun
Epistemologi
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk
pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi
selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya
untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu
memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur
apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi
kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan
cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang
semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari
kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari
dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya
untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat
ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena
itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu
titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi
rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
maka makalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Apa yang bisa diketahui manusia
Apakah sumber-sumber
pengetahuan itu
Bagaimana cara-cara memperoleh
dan mengembangkan pengetahuan
Apa yang dimaksud dengan
rasionalisme dan empirisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah
pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu
objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa
epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri
dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila
dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri. Secara
linguistic kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata
“Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang
dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara
terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau
ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi
adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat
dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia
mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen
untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna
pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu
sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Epitemologi merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas
dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan
perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh
pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan
pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam
epistemologik, sehingga dikenal model‑model epistemologik seperti rasionalisme,
empirisme, Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan
suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah).
Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak
sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat
kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya
merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh
berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika
dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah
berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai
dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari
kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang
telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran
suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun
pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran
mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena
penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu
pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
B. Apa yang bisa diketahui manusia
Immanuel Kant (lahir di Königsberg,
22 April 1724 – meninggal di Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur
79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah
Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan
manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia
menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
Apakah yang bisa kuketahui?
Apakah yang harus kulakukan?
Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai
berikut:
Apa-apa yang bisa diketahui
manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu
merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Semua yang harus dilakukan
manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut
dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan
mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka
apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
Yang bisa diharapkan manusia
ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
C.
Sumber-sumber pengetahuan
Sebelum kita memasuki pembahasan
inti dari makalah ini, maka perlu kiranya kita mengetahui pengertian dari ilmu
pengetahuan.
Dalam komperensi ilmu pengetahuan
nasional (KIPNAS) ini LIPI yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19
September 1981 di dasarkan agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan
pengetahuan untuk Knowledge adapun alasannya yaitu:
Ilmu (Spesies) adalah sebagian
dari pengetahuan (Genus)
Dengan demikian maka ilmu
adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu ciri-ciri
ilmiah atau ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah (Scientific
knowledge)
Dalam buku bahasa Indonesia
berdasarkan hukum D (diterangkan) dan M (menerangkan) maka ilmu
pengetahuan adalah ilmu (D) yang bersifat pengetahuan (M) dan penyatuan
ini pada hakikatnya adalah salah sebab ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang bersifat ilmiah
Kata ganda dari dua kata benda
yang termasuk kategori yang sama biasanya menunjukkan dua objek yang
berbeda seperti laki bini (laki dan bini) dan emas perak (emas dan perak)
penafsiran yang sama, maka ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu
dan pengetahuan.
Ternyata ada juga yang berpendapat bahwa:
Ilmu termasuk genus dimana
terdapat dapat banyak spesies seperti ilmu kebathinan, ilmu agama, ilmu
filsafat, dan ilmu pengetahuan
Terminologi ilmu pengetahuan
sinomia dengan scientific knowledge
Ilmu adalah sinomia dengan
knowledge danpengetahuan tentang science dimana berdasarkan hukum DM
maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (Knowledge) yang bersifat pengetahuan
(scientific)
Jika demikian, ilmu pengetahuan
hanya merupakan istilah yang lazim dibahasakan orang-orang tetapi tidak mampu
memberikan defenisi yang jelas, tetapi orang pasti sudah mengerti maksud ilmu
pengetahuan bila mendengarnya
Di dalam makalah ini akan kami
uraikan beberapa defenisi istilah ilmu pengetahuan berdasarkan beberapa
buku filsafat.
Kata “Ilmu” merupakan terjemahan
dari kata (Science) yang secara etimologi berasal dari bahasa latin (scinre)
artinya “to Know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
Dari pengungkapan para ahli kita
dapat menarik kesimpulan sebagi berikut:
Tidak semua permasalahan yang
dipersoalkan manusia dalam hidup dan kehidupannya dapat dijawab dengan
tuntas oleh ilmu pengetahuan itu.
Nilai kebenaran ilmu
pengetahuan itu bersifat positif dalam arti sampai saat sekarang ini dan juga
bersifat relatif atau nisbi dalam arti tidaklah mutlak kebenarannya
Batas dan realitivitas ilmu
pengetahuan bermuara pada filsafat, dalam arti bahwa semua permasalahan
yang berada di luar atau di atas jangkauan dari ilmu pengetahuan itu
diserahkanlah kepada filsafat untuk menjawabnya.
Dengan kita memasuki lapangan
filsafat dengan mencoba merenungkan semua permasalahan manusia yang belum
tuntas dijawab oleh ilmu pengetahuan itu.
Dalam kajian filsafat ilmu
sumber-sumber pengetahuan yang diperoleh manusia melalui: Pengalaman, intuisi,
agama (wahyu), filsafat dan ilmu
D. Cara –
cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan
Dalam
filsafat ilmu, cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan adalah melaui
sebuah rangkaian prosedur atau metode/tekhnik tertentu yang lazimnya disebutnya
metode ilmiah
a.
Pengertian metoda Ilmiah
Menurut
Soerjono Soemargono (1993 : 17), istilah metoda berasal dari bahasa
Latin methodos, yang secara umum artinya
cara atau
jalan
untuk memperoleh
pengetahuan sedangkan metoda ilmiah adalah
cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
The Liang Gie
(1991 : 110), menyatakan bahwa metoda
ilmiah adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan
yang telah ada.
Dalam beberapa literatur
seringkali metoda dipersamakan atau dicampuradukkan
dengan pendekatan maupun teknik. Metoda, (methode), pendekatan (approach), dan
teknik (technique) merupakan tiga hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama
lain (The Liang Gie, 1991:116). Dengan mengutip
pendapat benerapa pakar, The Liang Gie menjelaskan
perbedaan ketiga hal tersebut sebagai berikut. Pendekatan pada pokoknya
adalah ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data yang bertalian,
sedangkan metoda adalah prosedur untuk mendapatkan dan mempergunakan data.
Pendekatan dalam menelaah suatu masalah dapat dilakukan
berdasarkan atau dengan memakai sudut tinjauan
dari ilmu-ilmu tertentu, misalnya psikologi,
sosiologi, politik, dst. Dengan pendekatan berdasarkan psikologi,
maka masalah tersebut dianalisis dan dipecahkan berdasarkan konsep-konsep
psikologi. Sedangkan
bila masalah tersebut ditinjau
berdasarkan pendekatan sosiologis, maka konsep-
konsep sosiologi yang dipakai untuk menganalisis dan memecahkan masalah
tersebut.
Pengertian metoda juga tidak sama
dengan teknik. Metoda ilmiah adalah
berbagai prosedur
yang
mewujudkan pola-pola
dan
tata langkah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah.
Pola dan tata langkah prosedural tersebut
dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan
teknis yang lebih rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik
adalah suatu cara operasional teknis yang seringkali bercorak rutin,
mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh
dan menangani data dalam penelitian (The Liang Gie (1991 : 117).
b. Unsur-unsur metoda ilmiah
Metoda ilmiah yang
merupakan suatu prosedur sebagaimana
digambarkanoleh
The Liang
Gie, memuat
berbagai
unsur atau komponen yang saling berhubungan.
Unsur-unsur utama metoda ilmiah menurut The
Liang Gie (1991 : 118) adalah pola
proSedural, tata langkah, teknik, dan instrument..
Pola prosedural, antara lain terdiri
dari: pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survai, deduksi,
induksi, dan analisis. Tata langkah,
mencakup : penentuan masalah, perumusan
hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan
kesimpulan,
dan
pengujian hasil.
Teknik, antara lain terdiri dari :
wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka
instrumen yang dipakai dalam metoda ilmiah
antara lain : pedoman wawancara, kuesioner,
timbangan, meteran, komputer.
c. Macam-macam Metoda ilmiah
Johson
(2005) dalam
arkelnya yang berjudul ”Educational Research :
Quantitative and Qualitative”, yang termuat
dalam situs internet membedakan metoda ilmiah menjadi
dua metoda deduktif dan metoda induktif.
Menurut Johnson, metode deduktif terdiri tiga langkah utama, yaitu : first,
state the hypothesis (based on theory or research literature); nex, collect
data to test hypothesis; finally, make
decision to accept or reject the
hypothesis. Sedangkan tahapan utama metoda induktif
menurut Johnson adalah : first, observe the world; next, search for a pattern
in what is observed; and finally, make a generalization about what is
occuring. Kedua metoda tersebut selanjutnya oleh
Johnson divisualisasikan sebagai berikut.
Metoda deduktif merupakan metoda
ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kuantitatif. Dalam metoda ini teori
ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran
selanjutnya. Sedangkan
metoda induktif
merupakan
metoda yang diterapkan
dalam penelitian
kualitatif.
Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan teori.
1)
Metoda Deduktif
Jujun S. Suriasumantri
dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral,
Sosial, dan Politik (1996 : 6)
menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan
cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya
berdasarkan :a) kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang
bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya
yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis
termaksud untuk menguji
kebenaran pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya Jujun menyatakan
bahwa kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypothetico-verifikatifn ini pada dasarnya terdiri
dari langkah-langkah sebagai berikut (2005 : 127-128).
a) Perumusan masalah, yang
merupakan pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya serta
dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir
dalam penyusunan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan
yang mungkin terdapat antara berbagai faktor
yang saling mengait dan membentuk
konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis
ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis
yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis
yang merupakan pengumpulan fakta- fakta yang
relevan dengan hipotesis, yang diajukan
untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipoteisis tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan
yang merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima.
2) Metoda Induktif
Metoda induktif merupakan metoda
ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Metoda
ini memiliki dua macam tahapan : tahapan
penelitian secara umum dan secara siklikal
(Moleong, 2005 : 126).
a) Tahapan penelitian secara
umum
Tahapan penelitian secara umum
secara garis besar terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1)tahap pralapangan,
(2)tahap pekerjaan lapangan, dan (3) tahap analisis data. Masing- masing
tahap tersebut terdiri dari beberapa langkah.
b) Tahapan penelitian secara
siklikal
Menurut
Spradley (Moleong, 2005 :148), tahap penelitian
kualitatif, khususnya dalam etnografi merupakan proses yang berbentuk
lingkaran yang
lebih dikenal dengan proses penelitian siklikal, yang terdiri
dari langkah-langkah:(1) pengamatan deskriptif, (2) analisis
demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis
taksonomi, (5) pengamatan terpilih, (6) analisis
komponen, dan (7) analisis tema.
E. Metode
Untuk Memperoleh Pengetahuan
a.
Metode Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani
yaitu “empiris” yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme
dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap
pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan
yang merupakan sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang
memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan
bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak
berarti atau tanpa arti. Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan
demikian, kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah
pengalaman (post to experience).
Tokoh-tokoh empirisme antara lain
Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan
menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya
ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun
fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat
mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia
atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan
Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya
manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini
menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah
srigala bagi manusia lain.
Menurut
aliran ini bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indranya. Bapak
aliran ini adalah John Lock (1632-1704) dengan teorinya “tabula rasa” yang
artinya secara bahasa adalah meja lilin. Menurut paham empirisme, metode
untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris,
yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui pengamalan
indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es membeku?
Jawab kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara inderawi/panca
indera), maka pengetahuan diperoleh melalui perantaraan indera. Proses
terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat
dari suatu objek yang merangsang alat inderawi, kemudian menumbuhkan rangsangan
saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan sebagaimana adanya
dan dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat
inderawi ini. Kesimpulannya adalah metode untuk memperoleh pengetahuan bagi
penganut empirisme adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau pengalaman yang
bisa ditangkap oleh panca indera manusia.
Kelemahan aliran ini adalah sangat
banyak :
Indera terbatas ; Benda yang
jauh kelihatan kecil.
Indera menipu ; Orang yang
sedang sakit malaria, gula rasanya pahit.
Terkadang objek yang menipu,
seperti ilusi dan patamorgana.
Kekurangan terdapat pada indera
dan objek sekaligus; indera (dalam hal ini mata) tidak bisa melihat kerbau
secara keseluruhan, begitu juga kerbau tidak bisa dilihat secara
keseluruhan.
Pada
dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan
bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi
merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat
bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi
merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang
yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat
melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal
berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman
inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek
yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat
dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan
satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
b.
Tokoh-tokohnya.
1. Francis
Bacon (1210 -1292)
2. Thomas
Hobbes ( 1588 -1679)
3. John
Locke ( 1632 -1704)
4. George
Berkeley ( 1665 -1753)
5. David
Hume ( 1711 -1776)
6.
Roger Bacon ( 1214 -1294)
b.
Metode Rasionalisme
Para penganut rasionalisme
berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah
rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18.
Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez
(1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya
yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Berbeda
dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode untuk
memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme
menegasikan nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang
bagi akal pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes
(Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif
melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai:
-
Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
-
Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi
pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau
sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
Rasionalisme adalah merupakan faham
atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain
itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung
dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal
yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi
(ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang
demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali
akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan
bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada
akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini
menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad
XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh
Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu
menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan
satu sama lain menurut hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan
menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu
keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran
melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan
kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam
kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan
manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu
pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
b. Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638
-1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka perlu disimpulkan beberapa hal :
Ilmu pengetahuan adalah ilmu
yang mencoba menjawab segala permasalahan atau gejala-gejala alam dan
lingkungan atau masyarakat dengan menggunakan metode-metode ilmiah
Ilmu pengetahuan bersifat
relatif, artinya ilmu pengetahuan itu tidak kaku sehingga ia akan terus
berkembang seiring dengan kerja dan usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan kebenaran dan pemanfaatan hidup yang lebih berarti. Juga
teori-teori yang telah dibangun oleh para ilmuwan tidak akan bertahan
sepanjang masa. ia akan dibantah oleh teori-teori baru yang lebih
mendekati kepada kebenaran dan efesiensi kerja ilmiah.
Rasionalisme adalah suatu
aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari
peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal
atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal.
Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui
metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika
Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran
dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi
akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode
yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku”
yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Anees, Bambang Q- dan Radea Juli A.
Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Ravertz, Jerome R. The
Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat
Ilmu, Sejarah danRuang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.